Minggu, 26 Oktober 2014

Cerita Mengharukan





Cerita Nyata yang Sangat Mengharukan
”Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.
Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku
tak pernah bisa bebas dari cintanya yang
begitu tulus”

Aku membencinya, itulah yang selalu
kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang
kebersamaan kami. Meskipun menikahinya,
aku tak pernah benar-benar menyerahkan
hatiku padanya. Menikah karena paksaan
orangtua, membuatku membenci suamiku
sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah
menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, setiap hari aku melayaninya
sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa
melakukan semuanya karena aku tak punya
pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak punya
kemampuan finansial dan dukungan siapapun.
Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku
karena menurut mereka, suamiku adalah
sosok suami sempurna untuk putri satu-
satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang
teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka
hatiku. Suamiku juga memanjakanku
sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku
selalu bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah seharusnya setelah
apa yang ia lakukan padaku. Aku telah
menyerahkan hidupku padanya sehingga
tugasnyalah membuatku bahagia dengan
menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani melawan. Jika ada
sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan
suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah
yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal
melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk
susu di atas meja dan meninggalkan bekas
lengket, aku benci ketika ia memakai
komputerku meskipun hanya untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau
ia menggantung bajunya di kapstock bajuku,
aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi
tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah
kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali
ketika aku sedang bersenang-senang dengan
teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak.
Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau
mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan
akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu dalam
sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan
meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun
hamil dan baru menyadarinya setelah lebih
dari empat bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya.Itul­ah kemarahanku
terbesar padanya. Kemarahan semakin
bertambah ketika aku mengandung sepasang
anak kembar dan harus mengalami kelahiran
yang sulit. Aku memaksanya melakukan
tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi.
Dengan patuh ia melakukan semua
keinginanku karena aku mengancam akan
meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-
pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir.
Suami dan anak-anak sudah menungguku di
meja makan. Seperti biasa, dialah yang
menyediakan sarapan pagi dan mengantar
anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada peringatan
ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab
dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-
katanya yang mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan
tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa
terjebak dengan perkawinanku, aku juga
membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku
mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak.
Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga
anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut.
Aku berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali
mencium hingga beberapa kali di depan pintu,
seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan
untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon
adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku
beberapa jam kemudian. Di salon aku
bertemu salah satu temanku sekaligus orang
yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan
asyik termasuk saling memamerkan kegiatan
kami. Tiba waktunya aku harus membayar
tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku
ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal
di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga
bagian terdalam aku tak menemukannya di
dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat
apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku dan

bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang
jajan dan aku tak punya uang kecil maka
kuambil dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak
salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan
kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya
selesai bicara. Tak lama kemudian,
handphoneku kembali berbunyi dan meski
masih kesal, akupun mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil
dompet dan mengantarnya padamu. Sayang
sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat ,
kuatir aku menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan tanpa menunggu
jawabannya lagi, aku kembali menutup
telepon. Aku berbicara dengan kasir dan
mengatakan bahwa suamiku akan datang
membayarkan tagihanku. Si empunya Salon
yang sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku
bisa membayarnya nanti kalau aku kembali
lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga
ikut mendengarku ketinggalan dompet
membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan
berharap mobil suamiku segera sampai. Menit
berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar
sehingga mulai menghubungi handphone
suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah
berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya
dua kali berdering teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan
marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi
keluar, terdengar suara asing menjawab
telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat
sebelum suara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu.
Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata
seorang polisi, ia memberitahu bahwa
suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia
sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat
itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab
terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku
berjongkok dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang kupegang
dan beberapa pegawai salon mendekatiku
dengan sigap bertanya ada apa hingga
wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di
rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu
seluruh keluarga hadir di sana menyusulku.
Aku yang hanya diam seribu bahasa
menunggu suamiku di depan ruang gawat
darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa
karena selama ini dialah yang melakukan
segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah
menunggu beberapa jam, tepat ketika
kumandang adzan maghrib terdengar seorang
dokter keluar dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena
kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah
yang menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk
menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada
airmata setetespun keluar di kedua mataku.
Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan
mertuaku. Anak-anak yang terpukul
memelukku dengan erat tetapi kesedihan
mereka sama sekali tak mampu membuatku
menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku
duduk di hadapannya, aku termangu menatap
wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-
benar menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat itulah
dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah
ia berikan padaku selama sepuluh tahun
kebersamaan kami. Kusentuh perlahan
wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah
kali pertama kali aku menyentuh wajahnya
yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku, mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap berusaha
mengusap agar airmata tak menghalangi
tatapan terakhirku padanya, aku ingin
mengingat semua bagian wajahnya agar
kenangan manis tentang suamiku tak berakhir
begitu saja. Tapi bukannya berhenti,
airmataku semakin deras membanjiri kedua
pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang
mengatur prosesi pemakaman tidak mampu
membuatku berhenti menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak mengingat
apa yang telah kuperbuat padanya terakhir
kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak
pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat yang harus
kukonsumsi terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur, bahkan
terkadang menyuapiku kalau aku sedang
malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang
ia makan karena aku tak pernah bertanya.
Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan
tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu
bahwa suamiku adalah penggemar mie instant
dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya,
karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan
mie instant karena aku hampir tak pernah
memasak untuknya. Aku hanya memasak
untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak
perduli dia sudah makan atau belum ketika
pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya
kalau bersisa. Iapun pulang larut malam
setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari
rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
permintaannya untuk pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau jauh-jauh dari
tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan
diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya
hilang bersamaan onggokan tanah yang
menimbun. Aku tak tahu apapun sampai
terbangun di tempat tidur besarku. Aku
terbangun dengan rasa sesal memenuhi
rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku
dengan sia-sia karena mereka tak pernah
tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan
dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan seperti yang selama ini
kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal
kepergiannya, aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu
mertuaku membujukku makan. Tetapi yang
kuingat hanyalah saat suamiku membujukku
makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi,
aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan
ketika malah ibuku yang datang, aku
berjongkok menangis di dalam kamar mandi
berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali aku tidak bisa
melakukan sesuatu di rumah, membuat
teman kerjanya kebingungan menjawab
teleponku. Setiap malam aku menunggunya di
kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar
suara dengkurannya, tapi sekarang aku
bahkan sering terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena
ia sering berantakan di kamar tidur kami,
tetapi kini aku merasa kamar tidur kami
terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu
kesal jika ia melakukan pekerjaan dan
meninggalkannya di laptopku tanpa me-log
out, sekarang aku memandangi komputer,
mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-
jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku
paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas
piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa
di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan mudah
kutemukan meski aku berharap bisa
mengganti kehilangannya dengan kehilangan
remote. Semua kebodohan itu kulakukan
karena aku baru menyadari bahwa dia
mencintaiku dan aku sudah terkena panah
cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku
marah karena semua kelihatan normal
meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku rindu.
Aku marah karena tak bisa menghentikan
semua penyesalanku. Aku marah karena tak
ada lagi yang membujukku agar tenang, tak
ada lagi yang mengingatkanku sholat
meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku
sholat karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena menyia-
nyiakan suami yang dianugerahi padaku,
meminta ampun karena telah menjadi istri
yang tidak baik pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus
dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah
padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak
perhatian dari keluarga untukku dan anak-
anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-
belain, hampir tak pernah menunjukkan
batang hidung mereka setelah kepergian
suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari
keterpurukan. Ada dua anak yang
menungguku dan harus kuhidupi. Kembali
rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu
beres dan tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak pernah
peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah
yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai
untuk keperluan pribadi dan setiap bulan
uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari
kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh
gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka,
ternyata seluruh gajinya ditransfer ke
rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan
rumah tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga karena aku tak
pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku
tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-
anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya takkan
cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi
bekerja di mana? Aku hampir tak pernah
punya pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang bersama seorang
notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen.
Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia mewariskan
seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak,
ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi
yang membuatku tak mampu berkata apapun
adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih
dahulu, sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa
memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat karena
mencintaimu dan anak-anak adalah hal
terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi
sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian
kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama
ini aku telah menabung sedikit demi sedikit
untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin
sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak
yang bisa kuberikan tetapi aku berharap
sayang bisa memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-anak.
Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya
sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja.
Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu
yang terbuang percuma selama ini. Aku
memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat
kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku
menyusahkanmu dan semoga Tuhan
memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah
istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria
pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan
jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat
dimanapun kalian berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke, Buddy!.
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar
kartun dengan kacamata yang diberi lidah
menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan
note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi dan
tabungan deposito dari hasil warisan ayah
kandungnya. Suamiku membuat beberapa
usaha dari hasil deposito tabungan tersebut
dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun
dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu mengetahui betapa besar cintanya
pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya
ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang masih begitu hidup
di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika
orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya, tak
satupun meninggalkan kesedihan sedalam
kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga
tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang
pemuda dari tanah seberang. Putri kami
bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti
setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga
bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta
sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan
hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau
akan mendapatkan segalanya. Karena cinta,
kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan
belajar menerima kekurangannya, akan
belajar bahwa sebesar apapun persoalan,
kalian akan menyelesaikannya atas nama
cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk
ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap
setia pada ayah sampai sekarang?”Aku
menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah
suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu,
seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu
setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu
besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak
sempat menunjukkan cintaku pada suamiku.
Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.
Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku
tak pernah bisa bebas dari cintanya yang
begitu tulus.
Itulah Cerita Nyata Yang sangat Sedih dan
Mengharukan,
Semoga peristiwa ini bisa membuat kita
belajar bersyukur dengan apa yang kita
miliki,sebab :
Apa yang kita harapkan belum tentu kita
dapatkan dan
apa yang kita dapatkan belum tentu itu yang
kita harapkan ,
Tapi Percayalah Tuhan pasti memberikan Kita
yang terbaik

(untuk/menurut kita dan untuk/menurut
orang-orang yg kita cintai)
Silahkan share

sumber gambar: google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar